Perjalanan ilmu tafsir tidak pernah lepas dari perdebatan definisi yang terus berkembang seiring waktu. Sejak masa klasik hingga kontemporer, para ulama dan cendekiawan Muslim senantiasa mendiskusikan: apa sebenarnya yang dimaksud dengan tafsir? Apakah ia semata penjelasan linguistik terhadap teks, atau juga mencakup penalaran kontekstual terhadap realitas sosial? Tokoh-tokoh besar seperti al-Tabari, al-Zamakhsyari, hingga al-Razi memberikan corak tafsir yang berbeda, mencerminkan pendekatan zamannya masing-masing. Sementara mereka lebih banyak berfokus pada gramatika, asbabun nuzul, dan riwayat, tafsir kontemporer kini mulai menekankan relevansi sosial dan kemanusiaan dari ayat-ayat Al-Qur’an.

Era kontemporer membawa tantangan dan konteks baru yang menuntut pendekatan tafsir yang lebih dinamis. Isu-isu seperti keadilan gender, lingkungan, hak asasi manusia, dan pluralisme tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks suci, namun nilai-nilainya terkandung di dalamnya. Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, dan Amina Wadud menawarkan pendekatan tafsir kontekstual yang lebih dialogis, memadukan metode historis-kritis dengan kepekaan terhadap tantangan zaman. Tafsir mimpi44 tidak lagi dipandang sebagai produk final, melainkan sebagai proses yang terus-menerus dibentuk oleh interaksi antara teks, pembaca, dan realitas.

Namun demikian, pendekatan kontemporer ini tidak luput dari kritik. Sebagian pihak menilai bahwa tafsir kontekstual terlalu liberal atau mengaburkan makna otentik wahyu. Di sinilah perdebatan definisi menjadi semakin penting: apakah tafsir harus terikat pada tafsir klasik, ataukah boleh berekspansi sesuai kebutuhan zaman? Tokoh-tokoh tafsir modern mencoba menyeimbangkan antara kesetiaan terhadap teks (nash) dan kebutuhan untuk menerjemahkan nilai-nilainya dalam masyarakat yang terus berubah. Mereka menyadari bahwa mempertahankan kesakralan wahyu tidak harus berarti mematikan ruang ijtihad.

Akhirnya, perdebatan definisi dalam tafsir bukanlah pertentangan yang harus ditakuti, tetapi bagian dari dinamika intelektual Islam yang sehat. Tafsir, dalam kacamata para tokoh dari berbagai zaman, selalu bersifat interpretatif dan reflektif. Semakin kompleks zaman, semakin dibutuhkan keberanian untuk membaca ulang teks dengan mata jernih dan hati terbuka. Karena tafsir sejatinya adalah jembatan antara ilahi dan manusia, antara teks abadi dan dunia yang terus berubah.